Disela-sela
obrolan ringan bersama bapa, mamah, dan adik-adik. Tiba-tiba bapa
menyelipkan sebuah canda. Bapa tunjukan tangannya yang hitam. Tangannya
yang kasar, dan penuh noda-noda. Bapa bilang
“ Liat, tangan bapa yang hitamnya, kalian yang dapet duitnya.... hahaha” mamah pun menimpali,
“Ih, jijik tau... pake jeruk nipis dong pa...” kita terus bercanda menggoda tangan bapa yang hitam itu.
Namun, dibalik tawa itu, hatiku sungguh malu, hatiku sungguh tidak sangat tidak tega. Bapak berjuang mati-matian, untuk membiayai kami. Sampai bekasnya pun tidak hilang barang sehari dua hari. Malu rasanya aku terus menengadahkan tangan meminta uang jajan pada bapa, meminta untuk beli ini beli itu. Bayar ini bayar itu Malu sekali.
Andai saja, saat ini aku bisa langsung tidak selalu menengadah tangan pada mereka. Aku ingin sekali mengurangi beban mereka.
Setelah ia menunjukan tangan hitamnya itu, kemudian ia mulai petuahnya. Kata-kata yang selalu membakar semangat dalam hatiku, untuk membayar semua yang telah aku lakukan di masa lalu. Katanya:
“ Makanya, kalian belajar yang rajin, biar nanti kalo kalian kerja gak pake otot, tapi pake otak, kalo kalian kerja pake otot pasti cape, kaya bapa....”
“ Iya, da hasilnya juga buat kalian sendiri, bapa sama mamah gak bakalan minta.....” mamah ikut menimpali.
“ Kalian sekolah yang jujur, tuntut ilmu tinggi-tinggi.... ya...?” ujarnya sambil memeluk adikku, anak bungsunya. Adikku hanya mengangguk-ngangguk saja, entah dia mengerti arti pembicaraan bapa itu ataukah tidak.
tangan hitam itu menjadi saksi betapa bapa sangat rela mengorbankan apapun demi anak-anaknya.
Ya Allah, betapa pengorbanan bapa tiada terhingga untuk kami. Tinggikanlah derajat mereka, lindungilah mereka, payungilah mereka selalu dengan rahmat-Mu...
“ Liat, tangan bapa yang hitamnya, kalian yang dapet duitnya.... hahaha” mamah pun menimpali,
“Ih, jijik tau... pake jeruk nipis dong pa...” kita terus bercanda menggoda tangan bapa yang hitam itu.
Namun, dibalik tawa itu, hatiku sungguh malu, hatiku sungguh tidak sangat tidak tega. Bapak berjuang mati-matian, untuk membiayai kami. Sampai bekasnya pun tidak hilang barang sehari dua hari. Malu rasanya aku terus menengadahkan tangan meminta uang jajan pada bapa, meminta untuk beli ini beli itu. Bayar ini bayar itu Malu sekali.
Andai saja, saat ini aku bisa langsung tidak selalu menengadah tangan pada mereka. Aku ingin sekali mengurangi beban mereka.
Setelah ia menunjukan tangan hitamnya itu, kemudian ia mulai petuahnya. Kata-kata yang selalu membakar semangat dalam hatiku, untuk membayar semua yang telah aku lakukan di masa lalu. Katanya:
“ Makanya, kalian belajar yang rajin, biar nanti kalo kalian kerja gak pake otot, tapi pake otak, kalo kalian kerja pake otot pasti cape, kaya bapa....”
“ Iya, da hasilnya juga buat kalian sendiri, bapa sama mamah gak bakalan minta.....” mamah ikut menimpali.
“ Kalian sekolah yang jujur, tuntut ilmu tinggi-tinggi.... ya...?” ujarnya sambil memeluk adikku, anak bungsunya. Adikku hanya mengangguk-ngangguk saja, entah dia mengerti arti pembicaraan bapa itu ataukah tidak.
tangan hitam itu menjadi saksi betapa bapa sangat rela mengorbankan apapun demi anak-anaknya.
Ya Allah, betapa pengorbanan bapa tiada terhingga untuk kami. Tinggikanlah derajat mereka, lindungilah mereka, payungilah mereka selalu dengan rahmat-Mu...
0 komentar:
Posting Komentar