Sinar
mentari mulai merambat menyinari cakrawala. Ia mulai naik untuk menunaikan
tugasnya hari ini. Aku yang setelah selama hampir dua bulan tidak masuk sekolah
akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali sekolah. Aku tidak ingin terlalu lama
membebani pikiran emak. Pagi hari aku sudah mandi dan bersiap-siap. Terlihat
emak berada di meja tempat makanan -karena aku tidak mempunyai meja makan
seperti orang lain- , emak sedang membereskan sarapan. Emak menoleh dan
menatapku. Tampak senyum manis tersungging di bibirnya. Aku lega sudah bisa
membuat emak tersenyum kembali. Setelah beberapa waktu lalu aku hampir setiap
hari membuat emak memikul berbagai beban dalam hidupnya, karena tahu bahwa anak
bujang yang tinggal satu-satunya ini telah kehilangan kesempurnaan bagian
kakinya karena ulah pengendara avanza tempo hari itu. Kakiku lumpuh dan tidak
bisa berfungsi dengan sempurna, untuk itu aku harus memakai jangka agar aku
bisa berjalan tanpa bantuan orang lain.
“
Sarapan dulu....!!” pinta emak, aku hanya mengangguk dan menurut pada perintah
emak. Setelah selesai sarapan aku pun
pamit untuk berangkat ke sekolah. Dengan semangat aku berjalan, aku ingin
sekolah dan bertemu lagi dengan kawan-kawanku. Meskipun jangka ini sangat
merepotkanku, tapi aku tidak peduli. Sampai pada satu gang dan disana ada
beberapa orang anak kecil yang sedang berlari-lari. Anak-anak itu melihatku
dengan tatapan seakan-akan aku terlihat lucu dimata mereka. Seakan-akan aku
bisa menjadi bahan mainan mereka.
“
Lihat lihat, orang itu kakinya empat....hihihi” seru anak yang satu kepada
anak yang lainnya. Mereka berbisik-bisik tapi terdengar olehku.
“
Iya... haahaha... orang itu jalannya goyang-goyang, hihihi” seru yang lainnya
sambil tertawa dan memandangku.
“
Ssst, orang itu pincang tau...” seru anak perempuan satu-satunya di sana.
Aku
tahu itu hanyalah celotehan anak yang mungkin belum sekolah. Tapi bagiku itu
bukan sekedar celoteh, mereka saja yang anak-anak memandangku seperti itu,
apalagi teman-temanku, guru-guruku, dan lainnya. Hatiku rasanya panas. Aku
tidak mau melanjutkan perjalananku ke sekolah, aku tidak ingin semakin banyak
orang yang menertawakanku, semangatku hancur oleh anak-anak itu. Aku ingin
pergi, pergi kemana saja yang aku mau, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun
hari ini. Aku terus melangkahkan kakiku, kemana pun ia mau. Meskipun sulit,
tapi aku tetap harus pergi.
Akhirnya kakiku melangkah menuju
sungai. Tempat yang mungkin paling baik untukku saat ini. Aku melepaskan semua
amarahku di sana, mengungkapkan seluruh isi hatiku, meluapkan semua
ketidakadilan Tuhan padaku. Beberapa tahun silam aku telah kehilangan bapakku,
lalu setahun yang lalu aku baru kehilangan kakakku, Adam. Dan sekarang Tuhan
pun telah mengambil kesempurnaan kakiku.
“
Tuhan, mengapa Engkau begitu tidak adil padaku? Engkau telah mengambil bapak
dari sewaktu aku masih kecil, Kau ambil Adam, Kau ambil kakiku, Kau hancurkan
seluruh mimpiku, dan sekarang kau biarkan orang lain mencemoohku. Mengejekku.
Dimana keadilanmu Tuhan?” aku berteriak sejadi-jadinya. Aku tidak bisa menahan
amarahku lagi. Disudut sungai ini, tanpa aku sadari seseorang memperhatikanku.
Dengan tatapan heran ia terus mengamatiku. Bertanya-tanya tentang apa yang aku
lakukan dan aku katakan. Aku sempat menoleh padanya, tapi aku tidak peduli.
Yang aku inginkan sekarang hanya mengeluarkan semua yang bersemayam di hatiku.
Tiba-tiba ia menghampiriku.
“
aaauuuu , aaa’ aawwaa?” aku tidak mengerti apa yang ia bilang. Aku hanya
melongo dengan semua yang ia ucapkan.
“
eeeiiii aaaa??” aku tetap tidak
mengerti dan tidak peduli.
Gadis
itu mengulurkan tangannya padaku. Di dadanya ada sebuah buku catatan kecil yang
ia kalungkan ke lehernya. Di sana ia menuliskan sesuatu. ‘Arsya’, sambil tersenyum dan kembali mengulurkan tangannya yang
mungil ia menunjukan tulisan yang ia buat. Namanya Arsya. Dia menulis sesuatu
lagi untukku. Dan menunjukannya kembali padaku.
Kenapa? Sedih ya? begitu isi tulisan
Arsya.
Aku
tidak bisa menjawab, aku hanya memandangnya dengan lekat. Dia kembali menulis
sesuatu dan kembali menunjukannya. Namanya siapa?
Aku
mulai menenangkan hatiku dan membalas uluran tangannya.
“
Aku Lana, gadis kecil...” aku mencoba untuk tersenyum padanya. Aku tidak ingin
semakin banyak orang yang kecewa padaku. Dan untuk gadis kecil satu ini,
meskipun aku baru bertemu disini tapi aku tidak ingin membuatnya sedih.
“
Ngapain kamu disini?” tanyaku padanya.
Ia
hanya tertawa, menunjuk-nunjuk ke arah sungai.
“
Kamu suka dengan sungai ini?” dan Arsya hanya menjawab dengan anggukan
manisnya.
Bang Lana lagi sedih ya? ia menulis lagi untukku. Abang? Dia
memanggilku abang. Gadis ini jelas bukan asli dari kampung ini. Orang di
kampung ini tidak pernah memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan abang,
ini daerah Sunda jika tidak akang ya aa. Aku lucu sendiri mendengar diriku
dipanggil abang. Melihat aku tersenyum sendiri Arsya tepuk tangan dan tertawa
lucu.
“
Gadis kecil, ngapain kamu sendirian disini?” tanyaku padanya. Tapi Arsya tidak
menjawabnya dan hanya manyun saja.
“
Kamu kenapa?” tanyaku heran.
Bang Lana curang ! kenapa gak jawab pertanyaan
aku? Haha
iya aku lupa, aku menepuk-nepuk jidatku. Ia tampak tersenyum. Lucu sekali.
“
Iya Arsya, tadi aku lagi sedih. Tapi sekarang udah enggak. Kamu tau gak
kenapa?” Arysa menggeleng. aku
melanjutkan perkataanku.
“
Karena aku baru aja ketemu seorang peri kecil” melihat bahasa isyarat dariku Arsya tersipu malu. Pipinya memerah seperti
tomat. Aku masih sangat canggung berbicara dengan Arsya. Baru kali ini aku
berbicara dengan seorang yang bisu. Aku harus menyesuaikan diri dengan tidak
berbicara cepat-cepat seraya tanganku mencoba untuk mengisyaratkan segala
ucapan yang aku ucapkan.
“
Eh, kamu juga curang, kok gak jawab pertanyaan aku?” Arsya tampak kebingungan.
“
Ngapain kamu sendirian disini?” aku mengulang pertanyaanku. Dengan gesit, Arsya
menulis jawabannya di buku catatan kecilnya. Aku kesepian, di rumah gak ada temen.
“ Memangnya mama sama papa kamu kemana? Kamu
orang mana sih?”
Pergi ke syurga. Aku dari Jakarta.
Jadi,
orang tua Arsya sudah meninggal.
Tapi,
aku tidak ingin membuatnya sedih.
“
Eh, mau makan cilok gak? Aku jajanin ya?”
Arsya
mengangguk sambil tersenyum. Aku menarik tangannya. Dan betapa kagetnya aku,
karena selain bisu, Arsya juga memiliki kelainan di kakinya. Kakinya tidak
sempurna. Ada perbedaan panjang diantara keduanya, tulang kakinya pun tidak
lurus seperti kebanyakan orang pada umumnya, telapak kakinya bengkok ke dalam.
Jadi, Arsya tidak bisa berjalan secara normal. Arsya berjalan timpang. Pincang.
Kegetiran dan rasa bersalah menyelimuti hatiku. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana gadis kecil itu bisa tegar menghadapi kenyataan hidupnya. Ia bisu,
pincang, dan kedua orang tuanya telah pergi meninggalkannya. Bahkan aku
sendiri. Yang umurnya jauh di atas dia dan cobaan yang menimpaku pun tidak
seberat gadis kecil ini, tidak bisa menegarkan hatiku sama sekali. Aku hanya
bisa menyalahkan Tuhan. Aku berjalan, tapi pikiranku sedang tidak berada di
sana. Melayang. Entah kemana.
“
Nnggg...nnggg....” Arsya menggoyang-goyangkan tanganku. Aku langsung tersadar
dari lamunanku. Aku langsung tersenyum padanya, dan menghampiri ‘amang cilok’
yang sedari tadi menunggu kami.
“
Kamu tinggal di rumah sama siapa?” tanyaku melanjutkan keherananku tadi.
Kakak, tapi sekarang mereka sedang sekolah.
Hari
itu, aku dan Arsya asik sekali ngobrol dan bercanda. Meskipun banyak keterbatasan
diantara kami, tapi tidak ada yang bisa menghambat obrolan kami. Aku baru sadar
bahwa kami sudah seharian main di sungai ini setelah cahaya jingga mulai
terlihat di ufuk barat . Seharian kami menghabiskan waktu. Membunuh kesedihan.
“
Mau aku antar pulang?” tanyaku pada Arsya. Tapi ia hanya menjawabnya dengan
gelengan kepala sambil tetap tertawa lucu. Lalu, ia kembali menulis sesuatu di
catatannya.
Arsya udah gede, jadi bisa pulang sendiri.
Bang Lana pulang aja, nanti dimarahin mamanya.
Aku
tertawa melihat tulisannya. Dasar anak
kecil so gede. Akhirnya kami pulang masing-masing. Kami berpisah di sebuah
pertigaan yang memisahkan arah jalan kami. Arsya berjalan dengan riang,
walaupun..... Pincang. Aku memandanginya sampai hilang ia dari tatapanku. Aku
sungguh malu padanya, bagaimana ia bisa tegar menghadapi semua cobaan hidup
yang sangat berat itu? Bagaimana ia tidak mengeluh dengan semua cobaan yang
diberikan Tuhan padanya?
Di hari yang sore itu aku melihat
hamparan langit jingga, sebuah bukti keagungan Tuhan yang tidak pernah
habis-habisnya. Aku melangkahkan kakiku dengan lebih ringan. Hari ini aku pulang dengan membawa sebuah pelajaran
besar dari gadis kecil itu. Belajar tentang sebuah ketegaran, belajar tentang
sebuah rasa syukur, dan belajar untuk tetap kuat menerima segala cobaan yang
diberikan oleh Tuhan.
***
0 komentar:
Posting Komentar