Pages

Sabtu, 02 Februari 2013

Semburat Jingga Senja



Sinar mentari mulai merambat menyinari cakrawala. Ia mulai naik untuk menunaikan tugasnya hari ini. Aku yang setelah selama hampir dua bulan tidak masuk sekolah akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali sekolah. Aku tidak ingin terlalu lama membebani pikiran emak. Pagi hari aku sudah mandi dan bersiap-siap. Terlihat emak berada di meja tempat makanan -karena aku tidak mempunyai meja makan seperti orang lain- , emak sedang membereskan sarapan. Emak menoleh dan menatapku. Tampak senyum manis tersungging di bibirnya. Aku lega sudah bisa membuat emak tersenyum kembali. Setelah beberapa waktu lalu aku hampir setiap hari membuat emak memikul berbagai beban dalam hidupnya, karena tahu bahwa anak bujang yang tinggal satu-satunya ini telah kehilangan kesempurnaan bagian kakinya karena ulah pengendara avanza tempo hari itu. Kakiku lumpuh dan tidak bisa berfungsi dengan sempurna, untuk itu aku harus memakai jangka agar aku bisa berjalan tanpa bantuan orang lain.
“ Sarapan dulu....!!” pinta emak, aku hanya mengangguk dan menurut pada perintah emak.  Setelah selesai sarapan aku pun pamit untuk berangkat ke sekolah. Dengan semangat aku berjalan, aku ingin sekolah dan bertemu lagi dengan kawan-kawanku. Meskipun jangka ini sangat merepotkanku, tapi aku tidak peduli. Sampai pada satu gang dan disana ada beberapa orang anak kecil yang sedang berlari-lari. Anak-anak itu melihatku dengan tatapan seakan-akan aku terlihat lucu dimata mereka. Seakan-akan aku bisa menjadi bahan mainan mereka.
“ Lihat lihat, orang itu kakinya empat....hihihi” seru anak yang satu kepada anak  yang lainnya.  Mereka berbisik-bisik tapi terdengar olehku.
“ Iya... haahaha... orang itu jalannya goyang-goyang, hihihi” seru yang lainnya sambil tertawa dan memandangku.
“ Ssst, orang itu pincang tau...” seru anak perempuan satu-satunya di sana.
Aku tahu itu hanyalah celotehan anak yang mungkin belum sekolah. Tapi bagiku itu bukan sekedar celoteh, mereka saja yang anak-anak memandangku seperti itu, apalagi teman-temanku, guru-guruku, dan lainnya. Hatiku rasanya panas. Aku tidak mau melanjutkan perjalananku ke sekolah, aku tidak ingin semakin banyak orang yang menertawakanku, semangatku hancur oleh anak-anak itu. Aku ingin pergi, pergi kemana saja yang aku mau, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari ini. Aku terus melangkahkan kakiku, kemana pun ia mau. Meskipun sulit, tapi aku tetap harus pergi. 
            Akhirnya kakiku melangkah menuju sungai. Tempat yang mungkin paling baik untukku saat ini. Aku melepaskan semua amarahku di sana, mengungkapkan seluruh isi hatiku, meluapkan semua ketidakadilan Tuhan padaku. Beberapa tahun silam aku telah kehilangan bapakku, lalu setahun yang lalu aku baru kehilangan kakakku, Adam. Dan sekarang Tuhan pun telah mengambil kesempurnaan kakiku.
“ Tuhan, mengapa Engkau begitu tidak adil padaku? Engkau telah mengambil bapak dari sewaktu aku masih kecil, Kau ambil Adam, Kau ambil kakiku, Kau hancurkan seluruh mimpiku, dan sekarang kau biarkan orang lain mencemoohku. Mengejekku. Dimana keadilanmu Tuhan?” aku berteriak sejadi-jadinya. Aku tidak bisa menahan amarahku lagi. Disudut sungai ini, tanpa aku sadari seseorang memperhatikanku. Dengan tatapan heran ia terus mengamatiku. Bertanya-tanya tentang apa yang aku lakukan dan aku katakan. Aku sempat menoleh padanya, tapi aku tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang hanya mengeluarkan semua yang bersemayam di hatiku. Tiba-tiba ia menghampiriku.
“ aaauuuu , aaa’ aawwaa?” aku tidak mengerti apa yang ia bilang. Aku hanya melongo dengan semua yang ia ucapkan.
“ eeeiiii   aaaa??” aku tetap tidak mengerti dan tidak peduli.
Gadis itu mengulurkan tangannya padaku. Di dadanya ada sebuah buku catatan kecil yang ia kalungkan ke lehernya. Di sana ia menuliskan sesuatu. ‘Arsya’, sambil tersenyum dan kembali mengulurkan tangannya yang mungil ia menunjukan tulisan yang ia buat. Namanya Arsya. Dia menulis sesuatu lagi untukku. Dan menunjukannya kembali padaku.
Kenapa? Sedih ya? begitu isi tulisan Arsya.
Aku tidak bisa menjawab, aku hanya memandangnya dengan lekat. Dia kembali menulis sesuatu dan kembali menunjukannya.  Namanya siapa?
Aku mulai menenangkan hatiku dan membalas uluran tangannya.
“ Aku Lana, gadis kecil...” aku mencoba untuk tersenyum padanya. Aku tidak ingin semakin banyak orang yang kecewa padaku. Dan untuk gadis kecil satu ini, meskipun aku baru bertemu disini tapi aku tidak ingin membuatnya sedih.
“ Ngapain kamu disini?” tanyaku padanya.
Ia hanya tertawa, menunjuk-nunjuk ke arah sungai.
“ Kamu suka dengan sungai ini?” dan Arsya hanya menjawab dengan anggukan manisnya.
Bang Lana lagi sedih ya?  ia menulis lagi untukku. Abang? Dia memanggilku abang. Gadis ini jelas bukan asli dari kampung ini. Orang di kampung ini tidak pernah memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan abang, ini daerah Sunda jika tidak akang ya aa. Aku lucu sendiri mendengar diriku dipanggil abang. Melihat aku tersenyum sendiri Arsya tepuk tangan dan tertawa lucu.
“ Gadis kecil, ngapain kamu sendirian disini?” tanyaku padanya. Tapi Arsya tidak menjawabnya dan hanya manyun saja.
“ Kamu kenapa?” tanyaku heran.
Bang Lana curang ! kenapa gak jawab pertanyaan aku? Haha iya aku lupa, aku menepuk-nepuk jidatku. Ia tampak tersenyum. Lucu sekali.
“ Iya Arsya, tadi aku lagi sedih. Tapi sekarang udah enggak. Kamu tau gak kenapa?”  Arysa menggeleng. aku melanjutkan perkataanku.
“ Karena aku baru aja ketemu seorang peri kecil” melihat bahasa isyarat dariku  Arsya tersipu malu. Pipinya memerah seperti tomat. Aku masih sangat canggung berbicara dengan Arsya. Baru kali ini aku berbicara dengan seorang yang bisu. Aku harus menyesuaikan diri dengan tidak berbicara cepat-cepat seraya tanganku mencoba untuk mengisyaratkan segala ucapan yang aku ucapkan.
“ Eh, kamu juga curang, kok gak jawab pertanyaan aku?” Arsya tampak kebingungan.
“ Ngapain kamu sendirian disini?” aku mengulang pertanyaanku. Dengan gesit, Arsya menulis jawabannya di buku catatan kecilnya. Aku kesepian, di rumah gak ada temen.
 “ Memangnya mama sama papa kamu kemana? Kamu orang mana sih?”
Pergi ke syurga. Aku dari Jakarta.
Jadi, orang tua Arsya sudah meninggal.
Tapi, aku tidak ingin membuatnya sedih.
“ Eh, mau makan cilok gak? Aku jajanin ya?”
Arsya mengangguk sambil tersenyum. Aku menarik tangannya. Dan betapa kagetnya aku, karena selain bisu, Arsya juga memiliki kelainan di kakinya. Kakinya tidak sempurna. Ada perbedaan panjang diantara keduanya, tulang kakinya pun tidak lurus seperti kebanyakan orang pada umumnya, telapak kakinya bengkok ke dalam. Jadi, Arsya tidak bisa berjalan secara normal. Arsya berjalan timpang. Pincang. Kegetiran dan rasa bersalah menyelimuti hatiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana gadis kecil itu bisa tegar menghadapi kenyataan hidupnya. Ia bisu, pincang, dan kedua orang tuanya telah pergi meninggalkannya. Bahkan aku sendiri. Yang umurnya jauh di atas dia dan cobaan yang menimpaku pun tidak seberat gadis kecil ini, tidak bisa menegarkan hatiku sama sekali. Aku hanya bisa menyalahkan Tuhan. Aku berjalan, tapi pikiranku sedang tidak berada di sana. Melayang. Entah kemana.
“ Nnggg...nnggg....” Arsya menggoyang-goyangkan tanganku. Aku langsung tersadar dari lamunanku. Aku langsung tersenyum padanya, dan menghampiri ‘amang cilok’ yang sedari tadi menunggu kami.
“ Kamu tinggal di rumah sama siapa?” tanyaku melanjutkan keherananku tadi.
Kakak, tapi sekarang mereka sedang sekolah.
Hari itu, aku dan Arsya asik sekali ngobrol dan bercanda. Meskipun banyak keterbatasan diantara kami, tapi tidak ada yang bisa menghambat obrolan kami. Aku baru sadar bahwa kami sudah seharian main di sungai ini setelah cahaya jingga mulai terlihat di ufuk barat . Seharian kami menghabiskan waktu. Membunuh kesedihan.
“ Mau aku antar pulang?” tanyaku pada Arsya. Tapi ia hanya menjawabnya dengan gelengan kepala sambil tetap tertawa lucu. Lalu, ia kembali menulis sesuatu di catatannya.
Arsya udah gede, jadi bisa pulang sendiri. Bang Lana pulang aja, nanti dimarahin mamanya.  
Aku tertawa melihat tulisannya.  Dasar anak kecil so gede. Akhirnya kami pulang masing-masing. Kami berpisah di sebuah pertigaan yang memisahkan arah jalan kami. Arsya berjalan dengan riang, walaupun..... Pincang. Aku memandanginya sampai hilang ia dari tatapanku. Aku sungguh malu padanya, bagaimana ia bisa tegar menghadapi semua cobaan hidup yang sangat berat itu? Bagaimana ia tidak mengeluh dengan semua cobaan yang diberikan Tuhan padanya?
            Di hari yang sore itu aku melihat hamparan langit jingga, sebuah bukti keagungan Tuhan yang tidak pernah habis-habisnya. Aku melangkahkan kakiku dengan lebih ringan. Hari ini  aku pulang dengan membawa sebuah pelajaran besar dari gadis kecil itu. Belajar tentang sebuah ketegaran, belajar tentang sebuah rasa syukur, dan belajar untuk tetap kuat menerima segala cobaan yang diberikan oleh Tuhan.
***

0 komentar:

Posting Komentar